
Digitalisasi audio berdampak sangat besar pada dunia live sound recording. Mulai dari cost production hingga pada kemampuan menekan waktu yg dibutuhkan dalam keseluruhan proses produksi. Dan yang lebih luar biasanya lagi ternyata teknologi ini juga merubah bagaimana live sound professional bekerja mulai dari setup, checksound hingga broadcast release.
Sekitar 15 tahun yang lalu merekam sebuah pertunjukkan live performance dengan menggunakan multi-tracker berbiaya cukup tinggi. Ketika DAW, laptop dan digital consoles berbasis komputer muncul, kelemahan-kelemahan ini terminimalisir sedikit demi sedikit bahkan merubah sebagian sistem recording di live performance. Perkembangan teknologi trifecta ini telah merubah wajah audio.
Dulu signal yg masuk ke rantai multi tracker masih bergantung pada mixer FOH. Direct output atau insert send menjadi ujung tombak di pangkal routing system recorder. Implikasinya adalah post-fader dan high pass filter untuk semua signal yg tercapture pada multi-tracker. Hal ini cukup meresahkan bagi proper recording workflow karena porsi kebutuhan di PA system dan recording system sedikit banyak berbeda. Gain structure dan pola Equalisasi pada PA system harus sedikit berkompromi pada kalibrasi sang speaker dan kondisi akustik venue. Memang, tidak ada batasan yang jelas pada sebuah recording technique terutama mengenai wet or dry signal tetapi kondisi live sound recording yang harsh, dirty and quick memaksa kita sedemikian rupa memprint pure dry signal ke dalam multi-tracker.
Tahapan post-productionlah yang pada akhirnya berperan membangun sistem environment untuk final result, mulai dari pembangunan ambience audience hingga technique mixing baik stereo maupun surround. Di tahapan post-production pula kebutuhan overdubbing ditentukan keberadaannya.
Ada beberapa modus teknik rekaman dan sistem routing dalam live recording. Teknik yang pertama adalah “record off the board”. Sumber suara yg direkam berasal dari stereo output mixer FOH. Print output dari teknik ini hanya stereo track dan kualitasnya sangat bergantung pada mixing style dari FOH engineernya. Teknik perekaman yang kedua adalah “record from the insert sends”. Sumber suara yang direkam berasal dari direct out/ insert send per channel mixer FOH. Kualitas dan kondisi print sudah sedikit banyak dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Teknik yang ketiga yaitu “using splitter”. Sumber suara yang menuju multitracker berasal dari critical spot. Artinya, dry signal justru di split dengan menggunakan external splitter yang posisinya pre-foh console dan pre-multitracker. Inilah yang dinamakan live sound recording dengan skema independent system routing. Akan tetapi permasalahan belum selesai di skema yang ketiga ini, mengingat jenis signal yang displit adalah mic level signal. Mic level signal membutuhkan perlakuan tersendiri ketika displit menjadi beberapa bagian. Untuk itu jenis splitter yg disarankan adalah isolated transformer.
Satu hal lagi yang menjadi added value dari live concert recording adalah captured ambience. Tentunya kita menggunakan microphone untuk menangkap soundscape yang terjadi saat konser berlangsung. Ada 3 unsur yang menjadi critical point disini.
1. Crowd audience, tepuk tangan penonton, sing along mereka dan semua respon suara yang hadir karena pertunjukan tersebut.
2. Suara yang PA system, justru captured sound dari PA system akan sedikit menambah khazanah di proses post-production nantinya.
3. Venue Acoustic, sudah barang tentu point ketiga ini menjadi harga mati bagi setiap proses music production. Kenali kondisi venue dengan cara melakukan survey jauh hari sebelumnya, akan memudahkan proses re-treatening terhadap beberapa permasalahan di field ini.
No comments:
Post a Comment